Jam Gadang adalah maskotnya Kota Bukittinggi. Menikmati Bukittinggi akan
lebih berkesan sambil bersantai di dekat Jam Gadang. Apalagi kawasan di
sekitar Jam Gadang dilengkapi taman yang nyaman dan cukup luas dengan
beberapa pohon yang rindang yang dilengkapi kursi untuk bersantai
menikmati kota.
Di pagi hari, dari kawasan Jam Gadang, Gunung Singgalang dan Gunung Marapi jelas terlihat. Malam hari, kawasan Jam Gadang juga tidak pernah sepi. Taman Jam Gadang dilengkapi lampu taman yang temaram, menambah indahnya Jam Gadang.
Pengunjung bisa menikmati udara dingin sambil makan jagung bakar dan pisang bakar. Namun, di balik itu, mungkin tidak banyak yang tahu, sejak didirikan pada zaman kolonial, Jam Gadang tak pernah lepas dari tangan kekuasaan.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek kota bernama Yazid bersama Sutan Gigi Ameh. Pada saat itu, controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi dijabat oleh Rook Maker yang mendapat hadiah empat buah jam berukuran besar dengan diameter masing-masing 80 sentimeter dari Ratu Belanda. Keempat jam itu didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui pelabuhan Teluk Bayur.
Rook Maker meminta arsitek kota membuat bangunan untuk meletakkan Jam Gadang. Jam Gadang dibangun dengan biaya 3.000 gulden. Menara Jam Gadang dibangun setinggi 26 meter. Luas denah dasar dari Jam Gadang adalah 13 x 4 meter. Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Keunikan dari Jam Gadang adalah pada kesalahan penulisan angka Romawi empat ("IV") pada masing-masing jam yang tertulis "IIII", bukan nomor tradisional Romawi "IV". Mesin Jam Gadang digerakkan secara mekanik.
Mungkin karena terkenalnya Jam Gadang, membuat setiap rezim yang berkuasa juga punya kekuasaan pada Jam Gadang. Ini terlihat pada atap Jam Gadang yang telah mengalami tiga kali perubahan sesuai rezim yang berkuasa.
Pada zaman kolonial Belanda, di puncak Jam Gadang diletakkan patung ayam yang menghadap ke timur. Konon ini untuk menggambarkan anak nagari yang belum mengerti melihat jam dan hanya mengandalkan waktu dengan kokok ayam jantan di pagi hari.
Di masa pendudukan Jepang, puncak Jam Gadang diganti dengan klenteng. Sedangkan, setelah kemerdekaan Indonesia, puncaknya berbentuk atap rumah bagonjong Minangkabau.
Tidak sampai di situ saja. Di masa otonomi daerah seperti sekarang, Jam Gadang juga berusaha tetap dikendalikan penguasa lokal.
Kawasan Jam Gadang paling ramai dan sesak pada malam tahun baru karena warga kota dan wisatawan menunggu momen pergantian tahun itu dengan mendengar detak Jam Gadang dan melihat detik-detik jarum jam di Jam Gadang melewati angka 00.00 WIB. Tak kurang dari 20 ribu pengunjung datang ke Bukittinggi dan sebagian besar memadati kawasan Jam Gadang untuk menunggu detik-detik pergantian tahun di depan Jam Gadang dan merayakannya dengan meriah.
Kegembiraan anak muda pada saat pergantian tahun sempat membuat gerah ulama Bukittinggi. Mereka menuduh perayaan tahun baru di dekat Jam Gadang mendatangkan maksiat. Sebab, saat momen pergantian tahun, datang banyak pasangan muda yang berpelukan.
Pada 2008 lalu, atas permintaan mereka, Wali Kota Bukittinggi saat itu, Djufri, memerintahkan menjahit selubung dari kain marawa untuk menutupi Jam Gadang pada malam tahun baru. Kain Marawa adalah panji Minangkabau dengan warna merah, kuning, dan hitam.
Selain diselubungi kain dan jarum, Jam Gadang juga dimatikan agar tidak terdengar detaknya pada malam pergantian tahun. Tujuan pemerintah kota agar tidak ada yang merayakan tahun baru di depan Jam Gadang.
Menurut Djufri, penyelubungan Jam Gadang dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kemaksiatan yang diduga sering terjadi saat malam pergantian tahun. Akhirnya, mulai pukul 16.00 WIB pada 31 Desember 2008 hingga 1 Januari 2009, menara Jam Gadang setinggi 26 meter itu diselubungi kain. Aksi ini menuai protes banyak kalangan. Setahun berikutnya, Jam Gadang tidak lagi diselubungi tahun.
Namun diam-diam mesin jamnya dimatikan sehingga dentangnya tak berbunyi saat pergantian tahun. Namun, pada akhir tahun lalu, tidak ada lagi “sabotase” pada Jam Gadang karena Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengimbau agar Jam Gadang yang megah itu tidak dimatikan mesinnya saat pergantian tahun. Wisatawan kembali bisa menikmati dentangnya berbunyi di malam tahun baru.
Di Bukittinggi, tentu tidak hanya melihat Jam Gadang. Ada banyak kawasan wisata di dalam kota yang dekat dengan Jam Gadang, bahkan bisa didatangi dengan berjalan kaki. Seperti Ngarai Sianok, Terowongan Lubang Jepang, dan menikmati panorama Bukittinggi di Benteng Fort de Kock.
Belum lagi menikmati sederet masakan Minang yang lezat, mulai dari Nasi Kapau hingga Ampaing Dadiah (susu kerbau yang difermentasi dan ditambah cairan gula merah serta emping beras).
Karena Bukittinggi setiap tahun menjadi tujuan wisatawan untuk merayakan tahun baru, di akhir tahun semua hotel penuh. Bila ingin menghabiskan liburan akhir tahun di Bukittinggi, sebaiknya pesan hotel jauh-jauh hari.
Dari Padang ke Bukittinggi, perjalanan memakan waktu dua jam menempuh jarak 91 kilometer dengan menggunakan bus travel.
Di pagi hari, dari kawasan Jam Gadang, Gunung Singgalang dan Gunung Marapi jelas terlihat. Malam hari, kawasan Jam Gadang juga tidak pernah sepi. Taman Jam Gadang dilengkapi lampu taman yang temaram, menambah indahnya Jam Gadang.
Pengunjung bisa menikmati udara dingin sambil makan jagung bakar dan pisang bakar. Namun, di balik itu, mungkin tidak banyak yang tahu, sejak didirikan pada zaman kolonial, Jam Gadang tak pernah lepas dari tangan kekuasaan.
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek kota bernama Yazid bersama Sutan Gigi Ameh. Pada saat itu, controleur atau Sekretaris Kota Bukittinggi dijabat oleh Rook Maker yang mendapat hadiah empat buah jam berukuran besar dengan diameter masing-masing 80 sentimeter dari Ratu Belanda. Keempat jam itu didatangkan dari Rotterdam, Belanda, melalui pelabuhan Teluk Bayur.
Rook Maker meminta arsitek kota membuat bangunan untuk meletakkan Jam Gadang. Jam Gadang dibangun dengan biaya 3.000 gulden. Menara Jam Gadang dibangun setinggi 26 meter. Luas denah dasar dari Jam Gadang adalah 13 x 4 meter. Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Keunikan dari Jam Gadang adalah pada kesalahan penulisan angka Romawi empat ("IV") pada masing-masing jam yang tertulis "IIII", bukan nomor tradisional Romawi "IV". Mesin Jam Gadang digerakkan secara mekanik.
Mungkin karena terkenalnya Jam Gadang, membuat setiap rezim yang berkuasa juga punya kekuasaan pada Jam Gadang. Ini terlihat pada atap Jam Gadang yang telah mengalami tiga kali perubahan sesuai rezim yang berkuasa.
Pada zaman kolonial Belanda, di puncak Jam Gadang diletakkan patung ayam yang menghadap ke timur. Konon ini untuk menggambarkan anak nagari yang belum mengerti melihat jam dan hanya mengandalkan waktu dengan kokok ayam jantan di pagi hari.
Di masa pendudukan Jepang, puncak Jam Gadang diganti dengan klenteng. Sedangkan, setelah kemerdekaan Indonesia, puncaknya berbentuk atap rumah bagonjong Minangkabau.
Tidak sampai di situ saja. Di masa otonomi daerah seperti sekarang, Jam Gadang juga berusaha tetap dikendalikan penguasa lokal.
Kawasan Jam Gadang paling ramai dan sesak pada malam tahun baru karena warga kota dan wisatawan menunggu momen pergantian tahun itu dengan mendengar detak Jam Gadang dan melihat detik-detik jarum jam di Jam Gadang melewati angka 00.00 WIB. Tak kurang dari 20 ribu pengunjung datang ke Bukittinggi dan sebagian besar memadati kawasan Jam Gadang untuk menunggu detik-detik pergantian tahun di depan Jam Gadang dan merayakannya dengan meriah.
Kegembiraan anak muda pada saat pergantian tahun sempat membuat gerah ulama Bukittinggi. Mereka menuduh perayaan tahun baru di dekat Jam Gadang mendatangkan maksiat. Sebab, saat momen pergantian tahun, datang banyak pasangan muda yang berpelukan.
Pada 2008 lalu, atas permintaan mereka, Wali Kota Bukittinggi saat itu, Djufri, memerintahkan menjahit selubung dari kain marawa untuk menutupi Jam Gadang pada malam tahun baru. Kain Marawa adalah panji Minangkabau dengan warna merah, kuning, dan hitam.
Selain diselubungi kain dan jarum, Jam Gadang juga dimatikan agar tidak terdengar detaknya pada malam pergantian tahun. Tujuan pemerintah kota agar tidak ada yang merayakan tahun baru di depan Jam Gadang.
Menurut Djufri, penyelubungan Jam Gadang dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kemaksiatan yang diduga sering terjadi saat malam pergantian tahun. Akhirnya, mulai pukul 16.00 WIB pada 31 Desember 2008 hingga 1 Januari 2009, menara Jam Gadang setinggi 26 meter itu diselubungi kain. Aksi ini menuai protes banyak kalangan. Setahun berikutnya, Jam Gadang tidak lagi diselubungi tahun.
Namun diam-diam mesin jamnya dimatikan sehingga dentangnya tak berbunyi saat pergantian tahun. Namun, pada akhir tahun lalu, tidak ada lagi “sabotase” pada Jam Gadang karena Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengimbau agar Jam Gadang yang megah itu tidak dimatikan mesinnya saat pergantian tahun. Wisatawan kembali bisa menikmati dentangnya berbunyi di malam tahun baru.
Di Bukittinggi, tentu tidak hanya melihat Jam Gadang. Ada banyak kawasan wisata di dalam kota yang dekat dengan Jam Gadang, bahkan bisa didatangi dengan berjalan kaki. Seperti Ngarai Sianok, Terowongan Lubang Jepang, dan menikmati panorama Bukittinggi di Benteng Fort de Kock.
Belum lagi menikmati sederet masakan Minang yang lezat, mulai dari Nasi Kapau hingga Ampaing Dadiah (susu kerbau yang difermentasi dan ditambah cairan gula merah serta emping beras).
Karena Bukittinggi setiap tahun menjadi tujuan wisatawan untuk merayakan tahun baru, di akhir tahun semua hotel penuh. Bila ingin menghabiskan liburan akhir tahun di Bukittinggi, sebaiknya pesan hotel jauh-jauh hari.
Dari Padang ke Bukittinggi, perjalanan memakan waktu dua jam menempuh jarak 91 kilometer dengan menggunakan bus travel.
0 comments:
Post a Comment