Minggu pukul 17.00 WIB. Cuaca sore lembut menyapa kulit. Seorang ibu
muda menyuapi makan seorang anak perempuan cantik dan cerdas berusia
sekitar 2,5 tahun sambil mengitari tiga makam tua di halaman Benteng
(Fort) Marlborough, Bengkulu.
Berbeda seperti makam umumnya yang penuh dengan kesan dingin, mistis dan sakral, tiga makam tua itu berjejer seperti ramah menyapa pengunjung benteng di gerbang utama benteng. Bocah kecil yang disuapi ibunya itu sesekali berceloteh dengan bahasa yang belum tandas sambil menunjuk ketiga makam tersebut.
Makam pertama terbaring jasad Residen Thomas Parr yang mati dibunuh pada 23 Desember 1807 oleh pemberontakan rakyat Bengkulu. Di sebelahnya dimakamkan pegawai Parr, Charles Murray. Murray berusaha menyelamatkan Parr, namun terluka dan meninggal. Sedangkan makam yang satunya lagi tidak dikenal.
Jika Anda pernah datang ke benteng ini keberadaan makam tersebut tepat di sebelah kanan pintu masuk gerbang utama. Ibu dan anak tersebut bukan satu-satunya wisatawan yang asyik masyuk berwisata sejarah di Benteng peninggalan Inggris itu.
Jika jarum waktu diputar memasuki awal 1714 pada saat benteng didirikan tentu tidak akan berani ibu muda dan anak perempuannya yang “cerewet” itu mengelilingi benteng kukuh itu. Sebab, di tahun itu keangkuhan, kekejaman, serta keserakahan masih menyelimuti benteng.
Benteng Marlborough atau dikenal juga dengan benteng kura-kura dibuat pada 1714 sampai dengan tahun 1719 oleh Kerajaan Inggris Raya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joseph Collet. Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepian Samudra Hindia di atas bukit dengan ketinggian sekitar 8,5 meter di atas permukaan laut.
Benteng ini menghadap ke selatan dan memiliki luas sekitar 44.100 meter persegi. Benteng yang dikelilingi parit buatan ini seolah memunggungi Samudra Hindia. Memiliki empat sudut yang dilengkapi meriam pengintai, meriam pertahanan dan meriam penghancur kapal musuh yang langsung mengarah ke laut.
Dari atas sudut benteng inilah kita bisa menikmati pemandangan berupa hamparan laut lepas biru dilengkapi pohon cemara pada sepanjang pantai Tapak Padri yang bersambung ke Pantai Panjang Bengkulu.
Memasuki gerbang utama setelah melewati jembatan di sebelah kanan pintu masuk terdapat dua ruangan yang saling berhadapan sebelah kanan terdapat ruang jaga dan sel militer. Di sini terdapat lukisan kompas yang dibuat oleh tahanan menggunakan bahasa Belanda tertempel di beton bangunan yang kokoh.
Di sebelah lukisan kompas itu terdapat tulisan, “Die dit kompas mnzii berisp den knoeijer niet bedenk dat-lee cen leidt en dat voor tijdverdrijf ik dit hier nederschrijf.” Artinya: “Barang siapa mengamati kompas ini janganlah memarahi yang membuat coretan ini, ingatlah bahwa kesengsaraan dan waktulah yang membuat saya mencoret-coret di sini dan waktu saya menulis ini.” Tulisan tersebut diterjemahkan Prof. DR Haryati Soebado pada 14 Oktober 1983. Konon di ruangan itu juga Bung Karno pernah mendekam ketika diasingkan di Bengkulu.
Selanjutnya, di sebelah kiri, terdapat ruang tahanan dan harta. Sedangkan memasuki ke pintu utama di sebelah kanan terdapat barak militer berisikan beberapa meriam dan peluru yang tersisa. Terus ke depan terdapat perkantoran yang digunakan untuk perwira. Di utara terdapat bekas gudang mesiu.
Ada dua terowongan di pojok depan dan sebelah kiri benteng dekat perkantoran itu. Ada yang berasumsi terowongan tersebut tembus hingga Pantai Panjang Bengkulu, sebagai jalan keluar militer Inggris bila terkepung. Namun ada pula yang beranggapan terowongan itu buntu.
Jika dilihat dari udara, maka benteng ini akan terlihat berbentuk seperti kura-kura memiliki kepala dan empat buah kaki. Bagian kepala adalah pintu utama sedangkan kaki adalah sudut benteng yang digunakan sebagai menara pertahanan dan pengintai.
Dahulu, Benteng Marlborough merupakan bandar utama pelabuhan laut. Dari benteng inilah Inggris dengan leluasa mengontrol keluar masuknya kapal menuju Bengkulu.
Benteng ini diakui ahli sejarah merupakan benteng peninggalan Inggris terbesar di Asia Tenggara. Tujuan dibuatnya benteng adalah sebagai basis pertahanan militer Inggris.
Seiring dengan kuatnya cengkraman Inggris di Bengkulu, maka fungsi Benteng berubah menjadi kepentingan perdagangan. Benteng dijadikan tempat koordinasi bagi kelancaran suplai lada bagi perusahaan dagang Inggris, East Indian Company, dan pusat pengawasan jalur pelayaran dagang yang melewati Selat Sunda.
Pada 17 Maret 1824, Belanda menyerahkan Malaka dan Semenanjung Melayu kepada Inggris. Sedangkan, Inggris menyerahkan kekuasaannya di Bengkulu dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatera kepada Belanda.
Perjanjian tersebut dilakukan pada 17 Maret 1824 di London, dikenal dengan traktat London. Pada perjanjian itu Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Inggris diwakili George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn. Ini untuk mempermudah Inggris dan Belanda dalam mengontrol wilayah jajahan masing-masing.
Saat itu sebagian besar jajahan Inggris di Semenanjung Melayu, dan Belanda di Indonesia. Secara resmi Benteng ini dibuka untuk umum usai kemerdekaan Indonesia pada 24 April 1984. Beberapa perubahan kecil terjadi yang mengubah bentuk dan keasliannya.
Benteng ini selain berdekatan dengan samudera, juga dikelilingi kawasan wisata pecinan dan satu buah wihara. Karena pada masa Inggris mereka menggunakan warga etnis Tionghoa sebagai pedagang dan pekerja.
Kawasan pecinan menjadi pemandangan yang menarik satu bentuk perpaduan beberapa unsur budaya membaur menjadi satu serta turut mendewasakan Bengkulu.
Beberapa lampu lampion khas Tionghoa tidak ketinggalan turut menghias keindahan malam pada sudut benteng yang berbatasan langsung dengan Pecinan. Tak jauh dari kawasan Pecinan, wisatawan yang lapar dapat memanjakan perut dengan aneka kuliner khas Bengkulu dan pesisir pantai.
Tidak perlu repot bila menjadi wisatawan di kawasan benteng Marlborough, karena dari kawasan ini semua akses mudah dijangkau. Wisatawan bisa mencari hotel, restoran, atau langsung menuju ke bandara Fatmawati.
Bagi masyarakat Bengkulu, Benteng Marlborough atau benteng kura-kura bukan merupakan simbol kekuatan Inggris tetapi sebaliknya sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap imperialis. Ini terbukti dengan terbunuhnya Residen Thomas Parr.
Rio, salah seorang wisatawan asal Jakarta, terlihat asyik memotret banyak hal bersama rekannya. "Sudah lama saya mendengar tentang Benteng ini. Setelah melihat langsung ternyata benar-benar sebuah peninggalan yang hebat," ujar Rio.
Menurut Rio, Benteng Marlborough sebuah tempat wisata yang komplet. Karena selain berwisata sejarah, kita juga bisa menikmati suasana pantai yang persis terbentang di hadapan benteng.
Berbeda seperti makam umumnya yang penuh dengan kesan dingin, mistis dan sakral, tiga makam tua itu berjejer seperti ramah menyapa pengunjung benteng di gerbang utama benteng. Bocah kecil yang disuapi ibunya itu sesekali berceloteh dengan bahasa yang belum tandas sambil menunjuk ketiga makam tersebut.
Makam pertama terbaring jasad Residen Thomas Parr yang mati dibunuh pada 23 Desember 1807 oleh pemberontakan rakyat Bengkulu. Di sebelahnya dimakamkan pegawai Parr, Charles Murray. Murray berusaha menyelamatkan Parr, namun terluka dan meninggal. Sedangkan makam yang satunya lagi tidak dikenal.
Jika Anda pernah datang ke benteng ini keberadaan makam tersebut tepat di sebelah kanan pintu masuk gerbang utama. Ibu dan anak tersebut bukan satu-satunya wisatawan yang asyik masyuk berwisata sejarah di Benteng peninggalan Inggris itu.
Jika jarum waktu diputar memasuki awal 1714 pada saat benteng didirikan tentu tidak akan berani ibu muda dan anak perempuannya yang “cerewet” itu mengelilingi benteng kukuh itu. Sebab, di tahun itu keangkuhan, kekejaman, serta keserakahan masih menyelimuti benteng.
Benteng Marlborough atau dikenal juga dengan benteng kura-kura dibuat pada 1714 sampai dengan tahun 1719 oleh Kerajaan Inggris Raya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Joseph Collet. Benteng Marlborough berdiri kokoh di tepian Samudra Hindia di atas bukit dengan ketinggian sekitar 8,5 meter di atas permukaan laut.
Benteng ini menghadap ke selatan dan memiliki luas sekitar 44.100 meter persegi. Benteng yang dikelilingi parit buatan ini seolah memunggungi Samudra Hindia. Memiliki empat sudut yang dilengkapi meriam pengintai, meriam pertahanan dan meriam penghancur kapal musuh yang langsung mengarah ke laut.
Dari atas sudut benteng inilah kita bisa menikmati pemandangan berupa hamparan laut lepas biru dilengkapi pohon cemara pada sepanjang pantai Tapak Padri yang bersambung ke Pantai Panjang Bengkulu.
Memasuki gerbang utama setelah melewati jembatan di sebelah kanan pintu masuk terdapat dua ruangan yang saling berhadapan sebelah kanan terdapat ruang jaga dan sel militer. Di sini terdapat lukisan kompas yang dibuat oleh tahanan menggunakan bahasa Belanda tertempel di beton bangunan yang kokoh.
Di sebelah lukisan kompas itu terdapat tulisan, “Die dit kompas mnzii berisp den knoeijer niet bedenk dat-lee cen leidt en dat voor tijdverdrijf ik dit hier nederschrijf.” Artinya: “Barang siapa mengamati kompas ini janganlah memarahi yang membuat coretan ini, ingatlah bahwa kesengsaraan dan waktulah yang membuat saya mencoret-coret di sini dan waktu saya menulis ini.” Tulisan tersebut diterjemahkan Prof. DR Haryati Soebado pada 14 Oktober 1983. Konon di ruangan itu juga Bung Karno pernah mendekam ketika diasingkan di Bengkulu.
Selanjutnya, di sebelah kiri, terdapat ruang tahanan dan harta. Sedangkan memasuki ke pintu utama di sebelah kanan terdapat barak militer berisikan beberapa meriam dan peluru yang tersisa. Terus ke depan terdapat perkantoran yang digunakan untuk perwira. Di utara terdapat bekas gudang mesiu.
Ada dua terowongan di pojok depan dan sebelah kiri benteng dekat perkantoran itu. Ada yang berasumsi terowongan tersebut tembus hingga Pantai Panjang Bengkulu, sebagai jalan keluar militer Inggris bila terkepung. Namun ada pula yang beranggapan terowongan itu buntu.
Jika dilihat dari udara, maka benteng ini akan terlihat berbentuk seperti kura-kura memiliki kepala dan empat buah kaki. Bagian kepala adalah pintu utama sedangkan kaki adalah sudut benteng yang digunakan sebagai menara pertahanan dan pengintai.
Dahulu, Benteng Marlborough merupakan bandar utama pelabuhan laut. Dari benteng inilah Inggris dengan leluasa mengontrol keluar masuknya kapal menuju Bengkulu.
Benteng ini diakui ahli sejarah merupakan benteng peninggalan Inggris terbesar di Asia Tenggara. Tujuan dibuatnya benteng adalah sebagai basis pertahanan militer Inggris.
Seiring dengan kuatnya cengkraman Inggris di Bengkulu, maka fungsi Benteng berubah menjadi kepentingan perdagangan. Benteng dijadikan tempat koordinasi bagi kelancaran suplai lada bagi perusahaan dagang Inggris, East Indian Company, dan pusat pengawasan jalur pelayaran dagang yang melewati Selat Sunda.
Pada 17 Maret 1824, Belanda menyerahkan Malaka dan Semenanjung Melayu kepada Inggris. Sedangkan, Inggris menyerahkan kekuasaannya di Bengkulu dan seluruh kepemilikannya pada pulau Sumatera kepada Belanda.
Perjanjian tersebut dilakukan pada 17 Maret 1824 di London, dikenal dengan traktat London. Pada perjanjian itu Belanda diwakili oleh Hendrik Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Inggris diwakili George Canning dan Charles Watkins Williams Wynn. Ini untuk mempermudah Inggris dan Belanda dalam mengontrol wilayah jajahan masing-masing.
Saat itu sebagian besar jajahan Inggris di Semenanjung Melayu, dan Belanda di Indonesia. Secara resmi Benteng ini dibuka untuk umum usai kemerdekaan Indonesia pada 24 April 1984. Beberapa perubahan kecil terjadi yang mengubah bentuk dan keasliannya.
Benteng ini selain berdekatan dengan samudera, juga dikelilingi kawasan wisata pecinan dan satu buah wihara. Karena pada masa Inggris mereka menggunakan warga etnis Tionghoa sebagai pedagang dan pekerja.
Kawasan pecinan menjadi pemandangan yang menarik satu bentuk perpaduan beberapa unsur budaya membaur menjadi satu serta turut mendewasakan Bengkulu.
Beberapa lampu lampion khas Tionghoa tidak ketinggalan turut menghias keindahan malam pada sudut benteng yang berbatasan langsung dengan Pecinan. Tak jauh dari kawasan Pecinan, wisatawan yang lapar dapat memanjakan perut dengan aneka kuliner khas Bengkulu dan pesisir pantai.
Tidak perlu repot bila menjadi wisatawan di kawasan benteng Marlborough, karena dari kawasan ini semua akses mudah dijangkau. Wisatawan bisa mencari hotel, restoran, atau langsung menuju ke bandara Fatmawati.
Bagi masyarakat Bengkulu, Benteng Marlborough atau benteng kura-kura bukan merupakan simbol kekuatan Inggris tetapi sebaliknya sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap imperialis. Ini terbukti dengan terbunuhnya Residen Thomas Parr.
Rio, salah seorang wisatawan asal Jakarta, terlihat asyik memotret banyak hal bersama rekannya. "Sudah lama saya mendengar tentang Benteng ini. Setelah melihat langsung ternyata benar-benar sebuah peninggalan yang hebat," ujar Rio.
Menurut Rio, Benteng Marlborough sebuah tempat wisata yang komplet. Karena selain berwisata sejarah, kita juga bisa menikmati suasana pantai yang persis terbentang di hadapan benteng.
0 comments:
Post a Comment