Pengin beli keripik pedas dari Bandung sebagai oleh-oleh? Kali ini agak
repot memilihnya. Soalnya, Keripik pedas olahan rumah tangga di Bandung
semakin marak.
Dalam setahun ini, sudah ada puluhan jenis dan merek kudapan berbubuk cabai itu yang beredar di jalanan, toko, juga dunia maya. Label nama dan lambangnya ada yang mirip-mirip hingga menggelitik.
Di Jalan Dago tiap Ahad pada jam Car Free Day antara pukul 06.00-10.00 WIB, misalnya, tak kurang dari 10 merek keripik menggoda mata lewat spanduk di gerobak atau mobil dagangan. Sebagian hanya dijajakan sederhana dengan tumpukan kardus di atas trotoar. Namanya mulai dari keripik Maicih, Maedeh, Maemeh, Ceu Tety, Jenong, Cipuy, Kribo, juga Karuhun.
Salah seorang penjual keripik pedas di trotoar Jalan Dago 85, Yuyun Yulianingsih, rata-rata menjual 125 bungkus keripik setiap hari. Saat akhir pekan, Sabtu dan Minggu, pembelian mencapai 150-200 bungkus per hari. Sejak berjualan 4 bulan lalu, kata dia, keripik Maicih yang paling laris. "Terutama level (pedas) 3, 5, dan 10," katanya, Ahad, 4 Desember 2011.
Pembelinya dari kalangan remaja hingga orang tua. Paling banyak orang Bandung dan Jakarta. Biasanya, kata Yuyun, mereka memborong 5-10 bungkus untuk dikudap sendiri atau sebagai oleh-oleh.
Di Toko Serba Lada atau Toserda di Jalan Pajajaran 4 Bandung, lebih dari 20 merek keripik pedas berkumpul rapi di rak. Lada, dari bahasa Sunda yang artinya pedas itu diantaranya keripik Kurutuk yang diproduksi artis Rida, Siripik Kingkong, juga Kutang Janda size 36. "Keripik pedas jadi makin banyak setelah booming Maicih awal 2011," kata pemilik toko, Willy Hono, 28 tahun.
Sejak itu, hampir setiap pekan ada 1-2 pembuat keripik pedas yang menawarkan produknya. Namun tak semua olahan industri rumahan itu bisa dijual di tokonya. Sarjana Matematika dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu mengaku banyak menolak contoh kiriman karena rasanya kurang mantap, harganya dinilai mahal, atau kemasannya kurang baik sehingga keripik dikhawatirkan cepat melempem.
Uji produk itu juga melibatkan istri, dua karyawannya, serta rekan-rekannya. Willy sempat menjadi korban saat mencicipi keripik contoh. "Pernah langsung sakit radang tenggorokan," katanya. Walau begitu, ia tak mewajibkan para pembuat keripik pedas harus punya izin Departemen atau Dinas Kesehatan karena biayanya mahal. "Saya juga ingin bantu home industry," katanya.
Sejak toko berdiri akhir tahun lalu, ia juga menjual keripik lewat jalur online. Pembeli keripik per hari rata-rata ada 10 orang. Tiap bulan, omzet penjualan keripik pedasnya mencapai Rp 20-25 juta.
Keripik pedas sejak puluhan tahun lalu telah menempel di lidah orang Indonesia. Di Bandung, kudapan itu mulai naik pamor sejak tahun lalu dikenal sebagai pikset atau keripik setan. Sebutan itu karena pedas bubuk cabai pada keripik dari bahan singkong tersebut sangat menyengat lidah.
Setelah itu, pembuat keripik singkong pedas lainnya mengolah racikan dengan tingkat kepedasan berbeda. Selain itu juga kemasan dan cara penjualannya ikut memanfaatkan jejaring sosial di Internet. Sejak awal 2011, keripik pedas jadi barang buruan. “Penasaran awalnya, kok pakai level-levelan segala, ternyata sama seperti pikset tapi harganya lebih mahal,” kata Yuli Saputra, ibu rumah tangga berusia 34 tahun.
Penyuka keripik pedas itu mengaku sudah biasa mengalami panas mulut dan perut setelah makan keripik. Agar tak sampai mulas, ia memilih cara makan keroyokan bersama teman sambil ngobrol. “Namanya makanan pedas itu kan susah berhenti ya, jadi harus sedikit-sedikit dan makannya ramean,” ujarnya.
Kini jenis keripik pedas tak cuma dari singkong, tapi juga kentang, talas, tahu, dan kerupuk seperti gurilem, dorokdok (kerupuk kulit), keripik cireng (aci digoreng), serta basreng (baso goreng). Walau sama-sama dijamin pedas, masing-masing punya rasa, aroma, dan bumbu berbeda. Buat yang suka tantangan dan penasaran makanan pedas, siapa yang tak tergoda?
Dalam setahun ini, sudah ada puluhan jenis dan merek kudapan berbubuk cabai itu yang beredar di jalanan, toko, juga dunia maya. Label nama dan lambangnya ada yang mirip-mirip hingga menggelitik.
Di Jalan Dago tiap Ahad pada jam Car Free Day antara pukul 06.00-10.00 WIB, misalnya, tak kurang dari 10 merek keripik menggoda mata lewat spanduk di gerobak atau mobil dagangan. Sebagian hanya dijajakan sederhana dengan tumpukan kardus di atas trotoar. Namanya mulai dari keripik Maicih, Maedeh, Maemeh, Ceu Tety, Jenong, Cipuy, Kribo, juga Karuhun.
Salah seorang penjual keripik pedas di trotoar Jalan Dago 85, Yuyun Yulianingsih, rata-rata menjual 125 bungkus keripik setiap hari. Saat akhir pekan, Sabtu dan Minggu, pembelian mencapai 150-200 bungkus per hari. Sejak berjualan 4 bulan lalu, kata dia, keripik Maicih yang paling laris. "Terutama level (pedas) 3, 5, dan 10," katanya, Ahad, 4 Desember 2011.
Pembelinya dari kalangan remaja hingga orang tua. Paling banyak orang Bandung dan Jakarta. Biasanya, kata Yuyun, mereka memborong 5-10 bungkus untuk dikudap sendiri atau sebagai oleh-oleh.
Di Toko Serba Lada atau Toserda di Jalan Pajajaran 4 Bandung, lebih dari 20 merek keripik pedas berkumpul rapi di rak. Lada, dari bahasa Sunda yang artinya pedas itu diantaranya keripik Kurutuk yang diproduksi artis Rida, Siripik Kingkong, juga Kutang Janda size 36. "Keripik pedas jadi makin banyak setelah booming Maicih awal 2011," kata pemilik toko, Willy Hono, 28 tahun.
Sejak itu, hampir setiap pekan ada 1-2 pembuat keripik pedas yang menawarkan produknya. Namun tak semua olahan industri rumahan itu bisa dijual di tokonya. Sarjana Matematika dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, itu mengaku banyak menolak contoh kiriman karena rasanya kurang mantap, harganya dinilai mahal, atau kemasannya kurang baik sehingga keripik dikhawatirkan cepat melempem.
Uji produk itu juga melibatkan istri, dua karyawannya, serta rekan-rekannya. Willy sempat menjadi korban saat mencicipi keripik contoh. "Pernah langsung sakit radang tenggorokan," katanya. Walau begitu, ia tak mewajibkan para pembuat keripik pedas harus punya izin Departemen atau Dinas Kesehatan karena biayanya mahal. "Saya juga ingin bantu home industry," katanya.
Sejak toko berdiri akhir tahun lalu, ia juga menjual keripik lewat jalur online. Pembeli keripik per hari rata-rata ada 10 orang. Tiap bulan, omzet penjualan keripik pedasnya mencapai Rp 20-25 juta.
Keripik pedas sejak puluhan tahun lalu telah menempel di lidah orang Indonesia. Di Bandung, kudapan itu mulai naik pamor sejak tahun lalu dikenal sebagai pikset atau keripik setan. Sebutan itu karena pedas bubuk cabai pada keripik dari bahan singkong tersebut sangat menyengat lidah.
Setelah itu, pembuat keripik singkong pedas lainnya mengolah racikan dengan tingkat kepedasan berbeda. Selain itu juga kemasan dan cara penjualannya ikut memanfaatkan jejaring sosial di Internet. Sejak awal 2011, keripik pedas jadi barang buruan. “Penasaran awalnya, kok pakai level-levelan segala, ternyata sama seperti pikset tapi harganya lebih mahal,” kata Yuli Saputra, ibu rumah tangga berusia 34 tahun.
Penyuka keripik pedas itu mengaku sudah biasa mengalami panas mulut dan perut setelah makan keripik. Agar tak sampai mulas, ia memilih cara makan keroyokan bersama teman sambil ngobrol. “Namanya makanan pedas itu kan susah berhenti ya, jadi harus sedikit-sedikit dan makannya ramean,” ujarnya.
Kini jenis keripik pedas tak cuma dari singkong, tapi juga kentang, talas, tahu, dan kerupuk seperti gurilem, dorokdok (kerupuk kulit), keripik cireng (aci digoreng), serta basreng (baso goreng). Walau sama-sama dijamin pedas, masing-masing punya rasa, aroma, dan bumbu berbeda. Buat yang suka tantangan dan penasaran makanan pedas, siapa yang tak tergoda?
0 comments:
Post a Comment