Akhirnya saya sampai di Volendam. Di hari yang beranjak siang,
kampung nelayan di utara Amsterdam, Belanda, itu tengah diselimuti awan
kelabu. Matahari yang telah meninggi masih bersembunyi di balik awan,
menimbulkan bayang-bayang lindap yang menyirami Volendam.
Cuaca Volendam pada pertengahan Oktober lalu, saat musim gugur mulai menyapa, memang kurang bersahabat. Awan hitam pekat dan hujan terkadang muncul tiba-tiba menggantikan siang yang cerah. Angin kencang yang membawa hawa dingin nan menusuk juga kerap menerpa. Dan suhu udara di sana saat itu tak pernah beranjak dari 5 derajat Celsius. Ini tentu membuat saya, yang terbiasa dengan hawa panas Jakarta, cukup tersiksa.
Namun kondisi itu seolah menguap begitu menyaksikan pesona Volendam. Di sana terhampar di pesisir Laut Utara. Kampung nelayan itu menyuguhkan panorama nan eksotis. Rumah-rumah berarsitektur khas dan unik tampak berderet rapi menyambut kami. Kanal-kanal yang membelah desa dengan jembatan kayunya terlihat begitu menarik. Deretan kapal nelayan yang bersandar di pantai kian menambah keindahan Volendam.
Kepergian saya ke daerah wisata di wilayah Provinsi Noord-Holland, Belanda, itu merupakan perjalanan yang pertama kali. Dari Jakarta, saya bersama rombongan "Fam Trip to Europe" naik pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 088. Setelah transit di Dubai, Uni Emirat Arab, sekitar 1 jam, pesawat melanjutkan penerbangan ke Amsterdam.
Tepat pukul 08.40 waktu setempat, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam. Meski dihadang hujan yang disertai angin cukup kencang, pesawat jenis Airbus A330-200 itu mendarat dengan mulus. Ya, bukan main leganya begitu menginjakkan kaki di salah satu bandara terbaik di Eropa itu. Penerbangan panjang Jakarta-Amsterdam, yang menelan waktu sekitar 14 jam, berakhir sudah.
Pagi itu, setelah rihat sejenak di Schiphol, kami kemudian menuju bus yang akan mengantarkan kami ke Volendam. Udara pagi yang menggigit langsung sirna begitu memasuki bus yang dilengkapi pemanas ruangan itu. Tak lama berselang, bus yang saya tumpangi telah meluncur di atas jalan tol yang lebar dan beraspal mulus.
Boleh dibilang, Amsterdam hampir tak mengenal kemacetan lalu lintas, meski jalan raya yang kami lalui tetap sibuk dengan lalu-lalang beragam mobil. Sepanjang perjalanan Schiphol-Volendam, mendung yang menggayut disertai hujan rintik-rintik menemani kami. Jalanan tampak basah dan licin. Siro, pengemudi berusia separuh baya asal Italia, sigap mengemudikan busnya, diiringi musik pop yang terdengar rancak mengentak-entak.
Pemandangan yang kami lewati berganti-ganti. Kami melintasi hamparan padang rumput dan ilalang yang luas. Sekawanan sapi terlihat asyik merumput dengan latar kincir angin yang berdiri menawan nun jauh di belakang. Setelah itu, bus yang kami tumpangi melaju di antara pohon-pohon rindang, yang berjejer di kiri-kanan jalan. Kami juga melalui rumah-rumah mungil dengan model menarik yang berderet rapi.
Sekitar 40 menit kemudian, kami sampai di tempat tujuan. Siang itu, Volendam, yang tengah dipayungi awan kelabu, menyambut kami dengan panorama pesisir nan eksotis. Setelah bus yang mengantar kami diparkir di sebuah area khusus turis, kami bergegas berhamburan keluar. Saya pun begitu menggebu untuk segera menikmati Volendam.
Cuaca Volendam pada pertengahan Oktober lalu, saat musim gugur mulai menyapa, memang kurang bersahabat. Awan hitam pekat dan hujan terkadang muncul tiba-tiba menggantikan siang yang cerah. Angin kencang yang membawa hawa dingin nan menusuk juga kerap menerpa. Dan suhu udara di sana saat itu tak pernah beranjak dari 5 derajat Celsius. Ini tentu membuat saya, yang terbiasa dengan hawa panas Jakarta, cukup tersiksa.
Namun kondisi itu seolah menguap begitu menyaksikan pesona Volendam. Di sana terhampar di pesisir Laut Utara. Kampung nelayan itu menyuguhkan panorama nan eksotis. Rumah-rumah berarsitektur khas dan unik tampak berderet rapi menyambut kami. Kanal-kanal yang membelah desa dengan jembatan kayunya terlihat begitu menarik. Deretan kapal nelayan yang bersandar di pantai kian menambah keindahan Volendam.
Kepergian saya ke daerah wisata di wilayah Provinsi Noord-Holland, Belanda, itu merupakan perjalanan yang pertama kali. Dari Jakarta, saya bersama rombongan "Fam Trip to Europe" naik pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 088. Setelah transit di Dubai, Uni Emirat Arab, sekitar 1 jam, pesawat melanjutkan penerbangan ke Amsterdam.
Tepat pukul 08.40 waktu setempat, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam. Meski dihadang hujan yang disertai angin cukup kencang, pesawat jenis Airbus A330-200 itu mendarat dengan mulus. Ya, bukan main leganya begitu menginjakkan kaki di salah satu bandara terbaik di Eropa itu. Penerbangan panjang Jakarta-Amsterdam, yang menelan waktu sekitar 14 jam, berakhir sudah.
Pagi itu, setelah rihat sejenak di Schiphol, kami kemudian menuju bus yang akan mengantarkan kami ke Volendam. Udara pagi yang menggigit langsung sirna begitu memasuki bus yang dilengkapi pemanas ruangan itu. Tak lama berselang, bus yang saya tumpangi telah meluncur di atas jalan tol yang lebar dan beraspal mulus.
Boleh dibilang, Amsterdam hampir tak mengenal kemacetan lalu lintas, meski jalan raya yang kami lalui tetap sibuk dengan lalu-lalang beragam mobil. Sepanjang perjalanan Schiphol-Volendam, mendung yang menggayut disertai hujan rintik-rintik menemani kami. Jalanan tampak basah dan licin. Siro, pengemudi berusia separuh baya asal Italia, sigap mengemudikan busnya, diiringi musik pop yang terdengar rancak mengentak-entak.
Pemandangan yang kami lewati berganti-ganti. Kami melintasi hamparan padang rumput dan ilalang yang luas. Sekawanan sapi terlihat asyik merumput dengan latar kincir angin yang berdiri menawan nun jauh di belakang. Setelah itu, bus yang kami tumpangi melaju di antara pohon-pohon rindang, yang berjejer di kiri-kanan jalan. Kami juga melalui rumah-rumah mungil dengan model menarik yang berderet rapi.
Sekitar 40 menit kemudian, kami sampai di tempat tujuan. Siang itu, Volendam, yang tengah dipayungi awan kelabu, menyambut kami dengan panorama pesisir nan eksotis. Setelah bus yang mengantar kami diparkir di sebuah area khusus turis, kami bergegas berhamburan keluar. Saya pun begitu menggebu untuk segera menikmati Volendam.
Berdiri pada 1357, Volendam terletak di muara Sungai Ij (baca: ay),
yang berbatasan langsung dengan perairan Laut Utara. Awalnya, Volendam
adalah pelabuhan kecil di wilayah Edam, sebuah kota penghasil keju utama
di Belanda. Tapi, saat Edam membangun pelabuhannya sendiri, Volendam
kemudian "memisahkan diri” dan tumbuh menjadi desa nelayan.
Desa kecil yang awalnya hanya berpenduduk sekitar 25 orang itu kini telah berkembang dan dihuni oleh lebih dari 22 ribu orang. Mayoritas penduduk Volendam menganut Katolik Roma. Selain berprofesi sebagai nelayan, warga di sana sekarang memiliki latar belakang yang bervariasi. Banyak seniman dan orang-orang tajir Belanda yang belakangan menetap di sana.
Menginjakkan kaki di Volendam saat ini adalah perjumpaan dengan sebuah kontras. Dulu, kampung nelayan itu kumuh dan penuh lumpur di mana-mana. Konon, kondisi itulah yang mendorong warga setempat kemudian membuat sepatu kayu–sejenis klompen atau terompah khas Belanda–untuk melindungi dari kotoran lumpur.
Kini, Volendam telah bersolek dan menjelma menjadi daerah tujuan wisata yang sangat populer di Negeri Kincir Angin. Tempat wisata itu terkenal dengan pakaian tradisional yang masih dipakai oleh sejumlah warga di sana hingga kini. Di kalangan para wisatawan tempat ini juga terkenal sebagai lokasi untuk berfoto dengan pakaian tradisional dan sepatu kayu khas Belanda. Boleh dibilang, belum lengkap ke Belanda jika kita tak bertandang ke Volendam. Saban tahunnya, hampir 2 juta pelancong datang ke sana.
Sisi menarik lain dari Volendam adalah suasananya, yang menyuguhkan keunikan Belanda tempo dulu. Di sana, kita masih bisa menemukan kekhasan tradisi kuno Belanda. Memang, salah satu yang menjadi magnet Volendam sehingga sangat menarik untuk dikunjungi karena daerah itu masih mempertahankan ciri khas budaya tradisional Belanda yang tetap terpelihara hingga sekarang. Salah satunya, warga di sana masih banyak yang mengenakan pakaian tradisional khas negeri penghasil keju itu.
Saya memulai perjalanan berkeliling Volendam dengan menyusuri perkampungan di sana. Boleh dibilang semua memang tampak baik dan teratur di kampung nelayan itu. Rumah-rumah yang berjajar rapi di sepanjang jalan tampak terawat dengan baik dan sangat bersih. Meski berukuran kecil, sekitar 7 x 8 meter persegi, rumah berbahan kayu papan dan bercat warna-warni serta tak berpagar itu sangat menarik.
Desa kecil yang awalnya hanya berpenduduk sekitar 25 orang itu kini telah berkembang dan dihuni oleh lebih dari 22 ribu orang. Mayoritas penduduk Volendam menganut Katolik Roma. Selain berprofesi sebagai nelayan, warga di sana sekarang memiliki latar belakang yang bervariasi. Banyak seniman dan orang-orang tajir Belanda yang belakangan menetap di sana.
Menginjakkan kaki di Volendam saat ini adalah perjumpaan dengan sebuah kontras. Dulu, kampung nelayan itu kumuh dan penuh lumpur di mana-mana. Konon, kondisi itulah yang mendorong warga setempat kemudian membuat sepatu kayu–sejenis klompen atau terompah khas Belanda–untuk melindungi dari kotoran lumpur.
Kini, Volendam telah bersolek dan menjelma menjadi daerah tujuan wisata yang sangat populer di Negeri Kincir Angin. Tempat wisata itu terkenal dengan pakaian tradisional yang masih dipakai oleh sejumlah warga di sana hingga kini. Di kalangan para wisatawan tempat ini juga terkenal sebagai lokasi untuk berfoto dengan pakaian tradisional dan sepatu kayu khas Belanda. Boleh dibilang, belum lengkap ke Belanda jika kita tak bertandang ke Volendam. Saban tahunnya, hampir 2 juta pelancong datang ke sana.
Sisi menarik lain dari Volendam adalah suasananya, yang menyuguhkan keunikan Belanda tempo dulu. Di sana, kita masih bisa menemukan kekhasan tradisi kuno Belanda. Memang, salah satu yang menjadi magnet Volendam sehingga sangat menarik untuk dikunjungi karena daerah itu masih mempertahankan ciri khas budaya tradisional Belanda yang tetap terpelihara hingga sekarang. Salah satunya, warga di sana masih banyak yang mengenakan pakaian tradisional khas negeri penghasil keju itu.
Saya memulai perjalanan berkeliling Volendam dengan menyusuri perkampungan di sana. Boleh dibilang semua memang tampak baik dan teratur di kampung nelayan itu. Rumah-rumah yang berjajar rapi di sepanjang jalan tampak terawat dengan baik dan sangat bersih. Meski berukuran kecil, sekitar 7 x 8 meter persegi, rumah berbahan kayu papan dan bercat warna-warni serta tak berpagar itu sangat menarik.
Sebagian besar warga di sana tak bermobil. Meski begitu, jalanan yang
menghubungkan antarpenjuru kampung tetap mulus dan terawat baik. Lebar
jalan antar-rumah sekitar 8 meter dan menggunakan bahan paving block. Jalanan di sana juga menyediakan pedestrian yang nyaman buat para pejalan kaki.
Setelah berjalan-jalan menyusuri perkampungan, saya kemudian menuju pantai. Kapal nelayan yang bersandar di sana berderet rapi. Sejumlah nelayan tampak sibuk memperbaiki jala atau berbincang-bincang dengan rekannya. Di sebuah bangku kayu di tepi pantai, dua orang terlihat asyik menikmati suasana laut. Beberapa burung camar terbang melayang-layang.
Puas menikmati panorama pantai, saya tak menyia-nyiakan kesempatan bertandang ke pusat keramaian Volendam yang terletak di daerah Haven. Di kiri-kanan jalan conblock yang membelah kawasan itu, terdapat aneka restoran makanan laut, dan toko suvenir. "Kalau mau beli suvenir buat oleh-oleh, mendingan di sini, harganya lebih murah dibanding di Amsterdam," kata Daniek, teman seperjalanan yang sudah beberapa kali berkunjung ke sana.
Selain berbelanja beberapa suvenir, saya sebetulnya berniat berfoto mengenakan pakaian khas Belanda, seperti yang dikenakan beberapa warga di sana. Karena antrean di studio foto yang menyediakan layanan itu cukup panjang, akhirnya saya mengurungkan niat tersebut. Ya, sudahlah, mungkin pada kesempatan lain saya bisa berfoto. Saya menghibur diri.
Meski begitu, itu tak mengurangi kepuasan saya menikmati pesona Volendam yang sangat memukau. Keunikan dan eksotisme kampung nelayan yang berada di bibir pantai Laut Utara itu terus mengusik saya, hingga bus yang mengantar kami kembali meluncur ke Amsterdam.
0 comments:
Post a Comment