Custom Search

Sunday, February 12, 2012

Kopi dan Kabut di Kelok Danau Toba

Perlu waktu berhari-hari  untuk menikmati eksotis Danau Toba. Lokasi wisata yang telah menjadi keajaiban dunia ini mengelilingi tujuh kabupaten di Sumatera Utara: Kabupaten Simalungun, Tanah Karo, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Dairi, dan Humbang Hasundutan.

Lumrah bila Kota Parapat, tepian Danau Toba, secara administratif masuk wilayah Kabupaten Simalungun, lebih ramai dikunjungi wisatawan domestik dan mancanegara. Parapat merupakan jalur utama menuju Danau Toba. Daya tarik Danau Toba tak sebatas Kota Parapat. Berkunjunglah ke sudut Danau Toba lainnya, Tuk Tuk Siadong di Kabupaten Samosir, misalnya.

April lalu, saya bertolak dari Kota Medan menuju Kota Parapat. Perjalanan pada hari kerja memerlukan waktu tempuh 4 jam, berjarak 175 kilometer. Hari itu, kami menempuh waktu lebih lama satu jam karena lapisan kendaraan yang mengular begitu keluar dari Kota Pematang Siantar.

Maklum saja, ruas jalan tergolong sempit dengan sisi curam dan volume kendaraan yang lalu-lalang berbagai jenis menyebabkan laju kendaraan tidak bisa maksimal.

Jalan menanjak, menurun, dan berbukit tentu membosankan dan mengkhawatirkan keselamatan. Rambu peringatan serta panorama hijau dari barisan pohon cemara menjadi obat penenang di perjalanan. Wajah selalu berpaling ke sisi kiri dan kanan, memetik keindahan alamnya.

Dua kelokan terakhir mengantar kami menuju mulut Kota Parapat. Jalur menurun melahirkan keindahan tersendiri dengan pandangan hamparan air biru Danau Toba. Kendaraan yang membawa kami berhenti di sisi kelokan menurun, persis di depan warung yang berjejal. Beberapa rekan turun dari kendaraan, mengabadikan tepian Kota Parapat dari sudut kelokan ini. Yang lainnya melepas lelah dengan suguhan minuman segar dan kacang produksi petani di Tanah Batak.

Dari warung ini, terilhat air Danau Toba ternyata tak biru lagi. Ratusan kerambah apung yang bertebar dituding menjadi penyebab tercemarnya air Danau Toba. Keberadaan kerambah mencederai panorama Parapat, dengan pagar bangunan hotel berbaris mengikuti lekukan Danau Toba, dengan latar gundukan bukit.

Terpaan angin danau membikin kami terlena oleh waktu yang kian mendekati malam. Semula, kami ingin melanjutkan perjalanan langsung ke Tuk Tuk Siadong. Setibanya di Pelabuhan Ajibata, Kota Parapat, niat tersebut kami urungkan melihat antrean panjang kendaraan menunggu feri penyeberangan ke Kabupaten Samosir. Untuk menikmati malam ini, kami memutuskan istirahat di hotel kawasan Parapat.

Danau Toba. Beruntung salah satu hotel tengah menggelar diskon kamar, putusan diambil tanpa ragu. Dari kawasan penginapan yang berada di dataran tinggi ini, pemandangan Danau Toba begitu luas dipandang. Sayangnya, malam itu, manajemen hotel meniadakan acara untuk tamu hotel. Jadinya, malam itu kami isi dengan duduk memandang danau yang hitam pekat.

Embun pagi belum mengering saat kami meninggalkan hotel menuju Pelabuhan Ajibata. Dugaan kami, pagi ini, penyeberangan menuju Tomok, Kabupaten Samosir, akan lengang. Lagi-lagi asumsi itu nyaris salah.

Feri penyeberangan telah bersandar di Pelabuhan Ajibata. Beruntung kendaraan kami dan empat kendaraan lain yang berada di belakang kami diperkenankan memasuki feri, tentu setelah membeli tiket penyeberangan dengan harga Rp 95 ribu. Menyeberang ke Tomok diperlukan waktu paling lama 60 menit.

Usai memarkirkan kendaraan dan gerbang feri ditutup, suara menderu dari mesin feri memekakkan telinga untuk beberapa saat. Namun kondisi yang menjengkelkan ini mencair dengan keberadaan tiga bocah koin. Tiga anak laki-laki yang semula berpakaian lengkap seketika melepaskan seluruh pakaiannya. Mereka dengan akrab menggapai pembatas feri, berdiri bersama. Dalam hitungan, serempak mereka menceburkan diri ke Danau Toba.

"Ayo Pak, lemparkan uang koinnya," seru ketiga bocah dengan beratraksi di dalam air. Beberapa penumpang menanggapi seruan ketiga bocah laki-laki itu, sedangkan penumpang lainnya hanya menonton dan tersenyum. "Ini tangkap," ujar seorang penumpang perempuan seraya melemparkan uang koin ke dalam air.

Ketiga bocah berlomba menyelam. Tak ada kegaduhan di antara ketiga bocah itu. Siapa yang terlebih dulu meraih koin yang tenggelam dialah pemenang dan pemilik uang. Koin yang didapat itu disimpan di mulut mereka dan mereka menunggu koin dari penumpang lainnya.

Feri pun mulai meninggalkan pelabuhan. Bentangan Danau Toba dan perbukitan menjadi teman pemandangan sepanjang perjalanan. Untuk menghilangkan kebosanan dalam perjalanan, menikmati kopi di lantai dua feri adalah salah satu cara yang kerap dilakukan penumpang di sini. Dari lantai dua ini pula mata semakin luas memandang.

Suasana Pelabuhan Tomok, Kabupaten Samosir, tidak berbeda jauh dengan kondisi Pelabuhan Ajibata. Selepas melewati pintu pelabuhan, jejeran warung dan kios penjual suvenir berbaris memanjang.

Pendaratan kami di pelabuhan ini disambut rintik hujan. Perjalanan segera kami lanjutkan tanpa menyempatkan diri menikmati nuansa pelabuhan, apalagi mencari suvenir khas dari kawasan ini berupa ukiran kayu. Mengambil arah ke kanan, kendaraan kami pacu menembus jalan selebar 2,5 meter.

Pohon cemara, tanaman ciri khas di kawasan Danau Toba, yang mengapit sisi jalan. Setelah menempuh perjalanan 30 menit, kami memasuki Desa Tuk Tuk Siadong, Kecamatan Simanindo, yang ditandai dengan gapura desa.

Jalan berkelok dengan pemandangan bukit masih menjadi panorama tersaji. Tuk Tuk Siadong, desa dengan industri pariwisata yang terus berkembang. Di kawasan ini, sejumlah hotel berdiri megah. Para penduduk pun menyediakan rumah kontrakan, mayoritas dihuni oleh para wisatawan luar negeri.

Berbekal informasi rekan, kami pun menuju ujung Tuk Tuk Siadong untuk menemukan hotel dengan tarif relatif murah dan pemandangan indah. Benar saja, mendekati hotel yang direkomendasikan oleh teman, belasan kendaraan telah parkir di halaman hotel. Beberapa turis tengah berjalan kaki menikmati alam desa itu.

Sebagian hotel di kawasan ini ternyata memiliki sarana transportasi penyeberangan dari Ajibata dan Tomok, yang langsung bersandar di areal hotel, kebanyakan berdiri di bibir danau. Kami pun tiba di Hotel Carolina. Areal ini begitu asri, dengan pohon beringin besar kokoh berdiri dan pohon kelapa, menjadikan tempat ini benar-benar tujuan berwisata dan istirahat yang mengasyikkan. Sayangnya, kamar yang menghadap danau ternyata telah penuh dipesan. Dengan terpaksa kami menempati kamar yang menghadap sisi lain.

Hujan yang mengiringi perjalanan telah reda, namun matahari masih tertutup kabut. Menunggu senja, menikmati pemandangan danau, bermain di dinginnya air danau dan juga memancing, kegiatan alternatif yang cukup menghibur.

Menjelang senja, kafetaria hotel menjadi pilihan bersantai sambil menyeruput kopi. Sayangnya, kami kalah cepat dibanding turis yang telah memenuhi kursi di beranda kafetaria, menghadap danau. Seperti halnya mereka, kami pun tak ingin melewatkan keindahan saat matahari terbenam.

Harapan melihat sunset dari sudut Danau Toba ternyata gagal. Kabut yang tak kunjung menghilang menjadi penghalang keindahan sunset dari kawasan ini. Meski begitu, Tuk Tuk Siadong menjadi salah satu sudut Danau Toba yang eksotisme.

0 comments:

Post a Comment

Random Post