Custom Search

Sunday, February 12, 2012

Menikmati Pesona Karo

Berada lebih dari 1.400 meter di atas permukaan laut menjadikan Kabupaten Karo, Sumatera Utara, beriklim 18 derajat Celsius. Memasuki Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, udara dingin mulai menyergap kulit. Kecamatan Sibolangit merupakan wilayah perbatasan Deli Serdang dan Kabupaten Karo.

Roda kendaraan kami melambat di jalan menanjak yang berkelok. Pengendara yang melintasi jalur ini kudu ekstra hati-hati. Ruas jalan tidak lebar, dilalui berbagai jenis kendaraan seperti trailer. Jalur bergelombang lantaran topografi Kabupaten Karo berada di dataran tinggi.

Daerah ini memiliki dua gunung berapi aktif, Gunung Sinabung dan Sibayaak, telah bangun dari tidur panjangnya. Sudah tentu pula Bukit Barisan, menambah pigura panorama Kabupaten Karo. Bukit Barisan merupakan pegunungan yang membentang di Pulau Sumatera.

Lintasan menuju Karo tergolong rawan kecelakaan lalu lintas. Lantaran beberapa kelokan, di antaranya kelokan tajam hingga 180 derajat, terhalang pepohonan dan ilalang menyebabkan pandangan mata terbatas.

Tiga sopir pikap tidak menghiraukan rute berbahaya itu. Menjelang tikungan, kendaraan pikap menyalip kendaraan kami dan dua kendaraan di depan. Secara mendadak, sopir pikap membanting setir ke kiri dan mengerem pakem. Truk melon dari arah Karo tiba-tiba muncul. Beruntung tidak terjadi kecelakaan, walau jarak kedua kendaraan hanya beberapa sentimeter saja. ”Rasain kau!” ujar Jon, teman saya yang mengemudikan kendaraan.

Pekan kedua Januari 2012 saya dan dua teman mengunjungi Kabupaten Karo untuk melepaskan penat dari aktivitas sehari-hari. Karo menjadi alternatif tujuan wisata. Kabupaten ini menyuguhkan beragam tempat rekreasi. Mulai dari Kota Berastagi. Kota ini memiliki sejarah dan kedekatan dengan Bung Karno. Pada Desember 1948, Sang Proklamator, bersama dua tokoh lainnya: Sutan Sjahrir dan Agus Salim, diasingkan oleh Belanda di kota ini.

Karo pun memiliki dua air terjun. Sipiso-piso dan Sikulikap, Bukit Gundaling, di Kecamatan Berastagi, telah tersohor sebagai kawasan puncak yang kerap diramaikan pengunjung domestik dan mancanegara. Dari dataran Gundaling, panorama alam begitu nikmat dipandang dengan latar Gunung Sinabung dan Sibayak. Di sini kuda ataupun dokar menjadi transportasi khas.

Selain panorama, Gundaling dan Berastagi dikenal sebagai pusat flora. Kabupaten Karo adalah salah satu daerah potensi hortikultura di Provinsi Sumatera Utara. Tak mengherankan bila Karo menjadi daerah agrowisata. Mayoritas pasar di Kota Medan dan provinsi lainnya mendapat pasokan sayur-mayur hasil tani di Karo.

Karo juga mengeksploitasi panorama Danau Toba dari kawasan Tongging, dan sudah tentu Danau Toba sendiri, meliputi beberapa kabupaten di Sumatera Utara.

Ada juga Danau Lau Kawar, danau yang berada di kaki Gunung Sinabung. Areal ini menjadi kawasan favorit bagi para mahasiswa dan keluarga untuk menikmati malam dengan membakar api unggun dan tidur di dalam tenda. Pencinta alam yang hendak mendaki Gunung Sinabung kerap melalui Lau Kawar.

Seperti halnya Danau Toba, Danau Lau Kawar memiliki kedalaman yang sulit dijangkau--tak terukur. Lokasi wisata terakhir yang kerap dikunjungi bila berwisata ke Kabupaten Karo adalah pemandian air hangat atau disebut Lau Debuk-Debuk.

Tiba-tiba Jon melontarkan ide untuk istirahat di kawasan Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang. Untuk tiba di Karo dari Kota Medan perlu waktu 2 jam. Saat musim liburan waktu tempuh bisa lebih dari 4 jam. ”Mau tiduran dulu di kawasan ini,” ucap Jon disertai tawa. Tawanya sebagai isyarat mengenalkan kawasan ini.

Bandar Baru, entah dimulai sejak tahun berapa, tersohor sebagai daerah prostitusi. Ide itu sama-sama kami tepis. Perjalanan kami lanjutkan di siang yang cerah itu. Matahari bersinar penuh, sinarnya berpendar menerobos daun dan ranting pohon, menciptakan cahaya dan kilatan, membantu mengusir dingin.

Memasuki wilayah Kabupaten Karo kami disambut dengan dagangan jagung bakar. Lokasi ini populer disebut Panatapan. Warung dibangun pada bibir curam, di jalur berkelok. Ini areal pilihan bagi pengunjung sekadar melepas lelah atau menyegarkan diri dari kursi kendaraan.

Keramaian baru terasa menjelang senja hingga malam hari. Dari Panatapan Jagung Bakar ini memandang sunset menjadi kepuasan tersendiri. Kala malam tiba, jutaan cahaya bohlam dari Kota Medan menjadi sajian pandangan lainnya.



Mejuah-juah, slogan di bumi Karo, mudah ditemukan di gapura, pusat bisnis, tentu juga di obyek wisata di kabupaten ini. Memasuki Kota Berastagi, aura wisata begitu kentara. Jajaran gazebo berarsitektur rumah adat Karo, silawuh jabu, atau suah berderet membelah jalan protokol hingga bundaran Tugu Perjuangan di Kecamatan Berastagi, berpopulasi 23.161 jiwa.

Pria kais kuda menuntun hewan itu yang ditunggangi seorang pria bule, berkeliling Kota Berastagi. K. Sembiring, penyedia jasa transportasi kuda, mengaku dalam sehari bisa memperoleh penghasilan sedikitnya Rp 250 ribu. “Hari tahun baru kemarin lumayan banyaklah,” kata Sembiring dengan bibir melebar.

Untuk sekali rute, penyedia jasa kuda dan sado memasang tarif Rp 25 ribu hingga Rp 100 ribu. Penyedia jasa kuda dan delman bisa ditemui di tiga tempat, Pasar Buah (Taman Menjuah-juah), Gundaling, dan Bukit Kubuh.

Kami tak meneruskan perjalanan ke Gundaling. Perut memaksa kami berhenti di areal Pasar Buah atau juga disebut Taman Mejuah-juah. Di bagian belakang terdapat deretan rumah makan. Menu pesanan telah tersaji, langsung kami lahap. Udara dingin menambah selera makan.

Rehat di jantung Kota Berastagi membikin kami terlena akan waktu. Kami duduk di rumah makan yang di bagian dindingnya bertengger foto beberapa artis Ibu Kota, menandakan mereka pernah berkunjung dan menyantap menu di rumah makan ini, melihat aktivitas para pengunjung yang saling tawar tarif kuda dan dokar.

Dagangan bunga, pusat perbelanjaan buah hasil tani, toko-toko suvenir, dan beberapa lapak pakaian eks impor, menjadi daya tarik dan hiruk pikuk kota ini. Sayangnya, di jalan protokol kota ini tumpukan sampah berserakan. ”Makin parah kota ini, di mana-mana sudah banyak tumpukan sampah,” seru  sopir angkutan kota mengenalkan dirinya bermarga Ketaren.

Tiga jam sudah kami menghabiskan waktu di Kota Berastagi. Karena liburan kali ini dilakukan tanpa rencana, jadi kami memutuskan tidak mencari penginapan. Infrastruktur wisata di Karo tergolong lengkap. Berbagai hotel dan penginapan tidak sulit untuk mendapatkannya, dengan harga bersaing.

Jarum jam menunjukkan pukul 16.45 WIB, kami pun meninggalkan Kota Berastagi. Di inti kota, kemacetan terjadi. “Tahun baru kemarin macetnya minta ampun panjangnya,” ujar pengendara Toyota Fortuner yang terjebak kemacetan seperti kami.

Di sela waktu singkat itu si pengendara yang bernama Dermawan, seorang pengusaha leveransir di Kota Medan, sengaja memilih Karo sebagai liburan. Di tahun baru lalu ia memboyong keluarganya ke mari.

Saat itu seluruh obyek wisata di Karo dipenuhi pengunjung. “Di Tongging juga cukup ramai. Beruntung kami (saat itu) mendapatkan kamar di Taman Resor Simalem,” ujar dia.

Taman Resor Simalem adalah salah satu areal perhotelan berkelas di Kabupaten Karo. Pengakuan Dermawan tidak berlebihan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Marie Elka Pangestu sendiri memilih Kabupaten Karo menghabiskan liburan akhir tahun 2011. Lokasinya berada di perbukitan, memanjakan tamu hotel dan pengunjung menikmati pemandangan Danau Toba juga permukiman warga yang berada di pinggiran Danau Toba.

Sempritan personel polisi lalu lintas mengakhiri perbincangan saya dengan pengendara itu.

”Singgah di rumah Bung Karno saja, menghindari kemacetan,” ujar Samhadi. Tanpa didebat, saya dan Jon menerima saran teman kami itu.

Rumah pengasingan Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim berada tak jauh dari jantung Kota Berastagi, tepatnya di Desa Lau Gumba, Kecamatan Berastagi. Lokasi itu juga tak jauh dari Bukit Kubuh, salah satu taman rekreasi di Berastagi. Memasuki Jalan Sampurna, kendaraan kami meluncur melalui aspal yang kupak-kapik dan menanjak.

Rumah pengasingan Proklamator Kemerdekaan Indonesia memiliki areal sekitar 2 hektare. Di atasnya berdiri bangunan yang terbagi dua. Rizal, pengurus rumah pengasingan, secara sukarela menjadi pemandu pada kunjungan kami di bangunan bercat serba putih itu. Rizal menyebutkan bangunan ini telah dipugar. ”Dulunya di sini hanya ada dua kamar. Satu kamar ditempati Bung Karno, dan kamar di depan itu ditempati Agus Salim dan Sjahrir,” tutur Rizal begitu kami memasuki bangunan utama.

Tak ada lagi benda jejak Soekarno yang masih tertinggal di rumah ini. Bangunan belakang dihuni pembantu dan serdadu Belanda yang ditugasi mengawasi 24 jam ketiga tokoh itu.

Kamar seluas 5x8 meter yang dulu menjadi kamar istirahat Bung Karno kini diisi dengan empat tempat tidur, satu tempat tidur ukuran satu orang. Rizal menerangkan salah satu dari tempat tidur itu merupakan kasur Bung Karno. ”Persisnya yang mana saya tidak tahu,” ujar dia. Di kamar ini terdapat kamar mandi. ”Kamar mandi sudah beberapa kali direnovasi. Terakhir bangunan ini dipugar pada 2005,” kata dia. Di tahun itu juga, anak Bung Karno, Guruh Soekarno Putra, menempatkan arca Bung Karno, terbuat dari perunggu, di halaman rumah pengasingan. Arca Bung Karno, setinggi tujuh meter, berpose duduk dengan kaki kanan ditumpukkan di paha kaki kiri. Kedua tangan bertumpu pada paha kaki kanan.

Di ruang tamu Rizal hanya menerangkan tiga bingkai foto, hitam putih, menempel di dinding. Foto-foto itu mengabadikan senyuman dan cengkerama Bung Karno, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim bersama serdadu Belanda. Halaman bagian kanan berdiri kokoh pohon jenis cemara. ”Di bawah pohon itu Bung Karno sering mengajak tentara Belanda yang menjaganya berdiskusi,” kata Rizal.

Pada hari libur, Rizal mengamini, kawasan situs sejarah ini menjadi obyek kunjungan wisata. Tidak semua pengunjung diperkenankan masuk ke dalam bangunan, yang kini menjadi mes Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara.

0 comments:

Post a Comment

Random Post