Custom Search

Sunday, February 12, 2012

Menyusuri Sejarah Kota Praha

Kota Praha bak mutiara di Benua Eropa. Kilaunya membuat semua orang jatuh cinta," kata Johar, salah seorang teman di Hannover, Jerman, dengan mimik lucu berpuisi, begitu saya mengutarakan keinginan melancong ke ibu kota Republik Cek itu. Dengan senyum-senyum saya mendengar komentar yang sudah sering diucapkan. Itu membuat saya semakin semangat menyusun rencana perjalanan ke bekas negara komunis tersebut.

Dari tempat tinggal saya, di Braunschweig, Jerman bagian utara, jarak ke Praha relatif dekat. Seperti jarak Jakarta-Tegal. Empat jam naik kereta api, sampai ke kota perbatasan, Dresden. Lalu ganti kereta ke Praha selama dua jam perjalanan.

Langit terang benderang ketika saya memulai perjalanan di bulan kedua musim panas pada Juli lalu. Saya menjulurkan kaki di gerbong kelas I kereta api cepat Inter City Express. Tarifnya terjangkau karena lebih murah ketimbang kelas II jika dibeli sehari sebelum berangkat. Enak juga menikmati pelayanannya, seperti di pesawat terbang. Disuguhi kue cokelat, tisu pembersih tangan, dan pesanan makanan diantar pula ke tempat duduk.

Empat jam kurang tujuh menit, kereta akhirnya tiba di Dresden. Setelah setengah jam menunggu, kereta Eurocity, yang akan mengangkut saya ke tujuan, akhirnya datang dari Hamburg. Di sini saya duduk di gerbong kelas II, yang kondisinya jauh berbeda dengan kereta sebelumnya. Begitu juga pemandangan di luar, kontras.

Sampai perbatasan Jerman-Cek, infrastruktur masih rapi dan teratur. Setelah melewati perbatasan, keteraturan itu mulai redup. Pemandangan umum berupa ladang rumput ilalang tinggi, perumahan kumuh, mobil rongsokan di pojok rumah, atau mobil-mobil tua yang diparkir di halaman pabrik yang catnya mengelupas terhampar di sana-sini. Saya mengerutkan kening, ragu akan ucapan teman-teman tentang negeri ini.

Untungnya keraguan itu tidak sampai berubah jadi kekecewaan ketika keesokan harinya saya ikut rombongan ibu-ibu pejabat dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia ke gedung-gedung bersejarah, tak jauh dari Old Town Square. Di antaranya Prague Castle. Inilah istana terbesar di dunia, yang panjang bangunannya hampir 600 meter dan lebar lebih dari 100 meter. Arsitektur bangunannya bergaya gotik.

Persis seperti bangunan Gereja St Vitus, yang berdiri tegak di halaman istana. Gereja katedral yang luar biasa indah itu dibangun atas perintah Kaisar Charles IV, Raja Jerman dan Raja Bohemia dari Dinasti Luxemburg, yang dijuluki Holy Roman Emperor, yang berkuasa pada 1346-1378. Dari sayap sebelah kanan istana yang ada di dataran tinggi itu, turis bisa menyaksikan panorama Kota Praha.

Praha memang semakin cemerlang ketika Charles bertakhta. Banyak bangunan bersejarah dibangun, seperti Jembatan Charles. Jembatan di atas sungai terpanjang di Cek, Vlatava, ini panjangnya sekitar 500 meter dan lebar 10 meter, berhiaskan sekitar 30 patung bergaya Barock. Jembatan ini dibangun pada abad XV, menghubungkan kota lama dengan Istana Praha. Jembatan tersebut masih berdiri kokoh sampai sekarang. Pada siang hari banyak pelukis jalanan dan kios di sini yang juga ramai dilewati turis.

Bangunan lainnya, Universitas Charles, perguruan tinggi tertua di Eropa Tengah, juga masih eksis sampai sekarang. Bukan cuma indah bangunannya, tapi almamater ini telah melahirkan banyak orang terkenal, termasuk Edvard Benes, presiden kedua Cek serta Ivana Trump--yang nama aslinya Ivana Marie Zelnickova--bekas atlet Olimpiade, bekas model, dan bekas istri raja bisnis Amerika Serikat, Donald Trump.

Praha luar biasa terik hari itu. Saya mengira suhunya sampai 39 derajat Celsius. Kaki rasanya penat bukan main dan keringat membasahi baju setelah menyusuri keluasan istana. Di bawah bayangan megah istana, serombongan musisi orkestra duduk memainkan nomor-nomor klasik. Penonton berjubel di situ. Telinga terasa seperti dibuai oleh lantunan musik klasik di halaman bangunan berarsitektur antik ini.

Ketika berjalan keluar, ibu-ibu yang tak tahan panas belok ke kios es krim. Rasa haus agak terobati setelah menjilat es krim. Hampir pukul 14.00 ketika kami melewati penjaga istana berseragam biru-biru dan berkacamata hitam yang berdiri tegak bak penjaga Istana Buckingham di Inggris di pintu keluar. Saya membeli sebotol air mineral sebelum masuk mobil.

Dari sini mobil mengarah ke pusat belanja termewah di Praha, Parizska Street--mirip distrik perbelanjaan eksklusif Rodeo Drive di Los Angeles, AS. Ibu-ibu masuk ke toko tas branded Louis Viton, sedangkan saya berjalan kaki ke Old Town Square--kota lama yang dikepung toko-toko cendera mata dengan bangunan gereja bergaya Renaissance di latar belakangnya, yang cuma berjarak 300 meter dari situ.

Kerumunan turis mancanegara memadati lapangan kota lama ini. Berbagai tawaran putar-putar kota berseliweran, mulai sewa sepeda, delman yang ditarik enam kuda dengan kusir yang berpakaian tradisional, atau ber-segway dengan tarif 20 euro (kira-kira Rp 300 ribu) sejam. "Ini bisnis bagus, di sini tak pernah sepi turis. Apalagi di musim panas," kata Suzanna Eliansova, wanita berambut pirang dan bercelana pendek dari atas segway tentang bisnis yang dijalaninya sejak empat tahun lalu itu.

Ucapan Suzanna terbukti setelah mendengar komentar turis Belanda yang mengajak saya mengobrol di kedai minum. "Saya sudah banyak melihat gedung-gedung bersejarah di Eropa, tapi selalu ingin kembali ke Praha lagi. Kota ini seperti memiliki kekuatan magis, sehingga saya tidak pernah bosan mengunjunginya lagi dan lagi," kata Marijke Bernard, tertawa.

Ia menawarkan mandi spa di Kota Karovy Vary--kota spa di sebelah barat Praha yang terkenal di dunia itu. Setidaknya terdapat 13 sumber mata air murni di sini. "Amat bermanfaat untuk kesehatan," kata Noni Belanda itu.

Menurut laporan biro turisme Praha, jumlah turis yang datang tiap tahun ke kota ini lebih dari dua kali lipat jumlah populasi Cek, yang cuma sekitar 2 juta. Praha menjadi kota tujuan wisata nomor enam di dunia setelah Madrid, London, Paris, New York, dan Berlin. Banyak gedung bersejarah di sini yang dilindungi UNESCO, termasuk Istana Praha dan Jembatan Charles.

Sayangnya, selain cerita menarik itu, Praha menyimpan banyak rumor yang bisa bikin kecut turis, seperti soal rasialisme dan pencopetan. "Jangan lupa tas dijaga ekstra hati-hati jika bepergian, dan hindari pergi sendirian karena di sini masih banyak orang rasialis yang sering bikin onar," begitu petuah yang saya dengar dari mana-mana.

Saya tidak membuktikan kekhawatiran ini, meski beberapa teman mengalami kejadian buruk itu. Saya juga tidak bisa membuktikan keindahan kebun binatang Praha yang, menurut majalah bergengsi Forbes, merupakan nomor tujuh terbaik di dunia. Menurut saya, kebun binatangnya biasa-biasa saja, malah terkesan tidak terawat dan petugas penjaganya pun tidak cukup terampil dalam melayani turis.

0 comments:

Post a Comment

Random Post