Custom Search

Sunday, February 12, 2012

Menikmati Keindahan Arsitektur Kampung Naga

Anggukan dan senyuman menyambut setiap orang yang datang. Kenyamanan dan kebersihan pun begitu terasa saat menurunkan kaki dari kendaraan. Tugu kujang raksasa setinggi 3 meter, yang ditopang sebuah bangunan persegi empat terbuat dari beton, menegaskan bahwa daerah ini sebagai perkampungan adat. Daerah ini bernama Kampung Adat Naga.

Perkampungan ini persis berada di kilometer 32 jalan antara Kabupaten Garut-Tasikmalaya. Secara administratif, kampung adat ini berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Jarak dari jalan utama ke perkampungan sekitar 500 meter.

Meski tidak terlalu jauh, untuk menuju perkampungan harus menyusuri anak tangga tembok sebanyak 439 buah dengan kemiringan sekitar 45 derajat. Sepanjang menyelusuri anak tangga, panorama hijau perbukitan terlihat di mana-mana. Sesampainya di ujung Sungai Ciwulan, kemudian menyusuri jalan setapak sepanjang 100 meter untuk sampai di Kampung Naga yang biasa disebut Kampung Naga Dalam. Gemericik air sungai akan menemani setiap langkah menuju kampung.

Kampung Naga berada di lembah dengan batas wilayah di sebelah barat dibatasi oleh hutan keramat yang di dalamnya terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di Kabupaten Garut. Luas kampung sekitar 1,5 hektare, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan sawah.

Keunikan kampung ini terlihat dari bentuk dan konstruksi bangunan. Ornamen rumah dibuat seragam, mulai dari bahan sampai pada potongan bangunan dan arah menghadapnya. Rumah-rumah itu tersusun berderet sejajar dan tertata dengan rapi. Kondisi ini berbeda jauh dengan Kampung Naga Luar yang jaraknya sekitar 100 meter. Hampir seluruh bangunan di sini telah menggunakan dinding tembok dan genting.

Jumlah bangunan di Kampung Naga sebanyak 113 unit, di antaranya sebanyak 110 rumah, namun yang ditinggali 108 rumah. Tempat lainnya di antaranya bale pertemuan, lumbung padi, dan masjid yang letaknya sejajar menghadap ke arah timur-barat. Sedangkan bangunan rumah penduduk berdiri berjajar menghadap utara-selatan. Jumlah penduduknya tercatat sebanyak 108 kepala keluarga yang terdiri dari 314 jiwa.

Bangunan rumah berupa panggung berbentuk empat persegi panjang. Desain arsitektur dan interiornya sederhana, namun tertata apik, sehingga sirkulasi udara dan cahaya cukup baik masuk ke dalam ruangan. Pola ruangan dibagi dua petak, di antaranya ruang tengah dan petak kedua terdiri dari dapur, gudang (goah), dan kamar. Hal itu juga terlihat dari muka rumah yang terdiri dari dua pintu, satu pintu yang langsung ke ruang tengah dan yang satunya lagi pintu dapur.

Bahan bangunan yang digunakan di antaranya terbuat dari kayu, bambu, daun nipah, dan ijuk atau alang-alang. Rangka bangunan terbuat dari kayu. Daun nipah dan ijuk digunakan untuk bagian atap.

Jenis kayu yang digunakan berupa pohon yang tidak mengandung getah, seperti Albasiah. Sedangkan untuk daun pintu dan kusen menggunakan kayu manglid. Alasannya karena kayu dari tanaman yang mengandung getah mudah dimakan rayap dan lapuk.

Bahan yang digunakan untuk bagian ruang tengah rumah hampir semuanya terbuat dari kayu seperti pada dinding bagian luar dan lantainya. Namun, untuk dinding bagian dalam, semuanya menggunakan anyaman bambu (bilik).

Sedangkan untuk dapur lebih banyak menggunakan bambu, baik dari dinding maupun lantainya. Anyaman bambu secara vertikal dan horizontal atau biasa disebut bilik sasag digunakan bagian muka. Alasannya, agar saat memasak, asap dapat cepat keluar dari ruangan. Selain itu, bila terjadi bencana kebakaran, dapat dilihat orang yang lewat dari luar.

Tak hanya itu, lantai untuk dapur pun menggunakan belahan bambu (palupuh). Alasannya agar mudah dibersihkan. Bila ada makanan yang tercecer, bisa langsung dibuang ke bawah, di mana tempat tersebut dijadikan kandang ternak. Bahan untuk menopang bangunan, fondasi rumah terbuat dari batu yang terpasang sejumlah titik. Batu yang digunakan berupa batu papas berukuran 20 x 60 sentimeter.

Bangunan masyarakat Kampung Naga ini sebelumnya pernah rata dengan tanah pada 1956. Semua bangunan hangus dibakar oleh gerakan pemberontak DI/TII pimpinan Kartosuwirjo. Namun, meski begitu, bangunan yang berdiri sekarang masih tetap seperti yang dulu. “Masyarakat berhasil membangunnya kembali pada tahun 57-an. Bangunannya sama tidak ada yang berubah,” ujar salah seorang keturunan warga Kampung Naga, Darmawan, 43 tahun, yang berprofesi sebagai pemandu pengunjung yang akan ke Kampung Naga.

Tak hanya bentuk bangunan, masyarakat d isini pun hidup sederhana. Mereka dilarang untuk menggunakan listrik sebagai penerangan di malam hari dan menggunakan kompor gas. Alasannya karena banyak menimbulkan bencana seperti kebakaran. Namun, meski begitu, ada di antara sebagian masyarakat yang memiliki televisi. Mereka menggunakan accu sebagai energinya. “Kalau TV boleh, karena sebagai sarana informasi dan hiburan,” ujar Darmawan.

Menurut dia, tradisi di Kampung Naga dari dulu hingga saat ini masih tetap terjaga dengan baik. Segala hal yang dianggap tabu masih tetap dipercaya masyarakat dan tidak ada satu pun yang dilanggar. Tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dari setiap generasi.

Salah satu caranya, semua masyarakat dari mulai anak-anak sampai orang tua dilibatkan untuk mengikuti setiap kegiatan adat. Untuk rumah diwariskan kepada anak perempuan yang paling bungsu. Alasannya karena anak perempuan sering tinggal di rumah, bisa menjaga rumah, dan banyak mengetahui kondisi rumah dibandingkan dengan anak laki-laki yang jarang di rumah.

Kehidupan yang harmonis ini membuat semua penduduk betah tinggal di kampung ini. Menurut Darmawan, semua kebutuhan pun dapat tercukupi dengan baik. “Disini itu, sosialnya lebih tinggi, beda dengan di kota. Untuk makan sehari-hari juga tidak susah beda dengan di kota yang segalanya harus dibeli,” ujarnya.

0 comments:

Post a Comment

Random Post